• 4 min read

Que sera, sera

Whatever will be, will be.

Semakin dewasa gue semakin sadar bahwa waktu dan kesempatan yang gue miliki semakin berkurang. Dan somehow udah males dengan adanya drama, entah karena udah bosan atau karena udah capek.

Drama hampir terjadi di berbagai lapisan kehidupan, di pekerjaan; pertemanan, percintaan, keluarga, sampai sampai ke sesederhana internet mati pas lagi netflixan. Ada banyak cara tanggapan yang bisa gue pilih, tapi kebanyakan tanggapan yang gue ambil adalah “yaudah lah ya”.

Sekilas tanggapan tersebut terlihat seperti pasrah, tapi pasrah adalah tentang tidak melakukan apa-apa. Seperti, ketika internet brengsek ini masih mati ketika gue nonton sekarang pada saat ini sekalipun gue udah cek & restart DNS; cek & restart perangkat, dan cek & restart router, apalagi yang bisa gue lakukan selain yaudah lah ya?

Dan itu bukan pasrah. Ada sesuatu yang bisa dan tidak bisa kita kontrol, dan gue sudah melakukan bagian gue. Mungkin gue bisa aja bikin drama, marah-marah di Twitter nyalahin indiehome penyedia internet yang sedang gue gunakan sambil skrinsut presentase packet loss dari hasil ping di command promp, tapi pada akhirnya meskipun gue engga marah-marah di Twitter-pun internet gue akan kembali normal.

…seperti saat ini yang mana gue udah engga mood buat lanjut nonton lagi.

Oke somehow marah-marah dapat membuat lega, tapi gue rasa untuk bisa lega marah-marah bukanlah satu-satunya cara.

Di konteks lain, misal pertemanan. Gue udah males drama-drama di pertemanan, kalau mau berteman dengan gue ya yo kalau engga ataupun udah engga mau, yaudah. Kalau ada sesuatu yang bisa diperbaiki mari perbaiki, kalau gak mau diperbaiki ya udah. Itu hak lo. Gue engga akan menghalangi pintu keluar untuk mereka yang berusaha keras ingin keluar.

…pertemanan gue sejauh ini lumayan tenang-tenang aja, dan yang di atas itu hanya sebatas sebagai contoh.

The farewell(?)

Hal yang paling sering dialami dalam urusan “perpisahan” ini pertama di pekerjaan. Manusia datang dan pergi. Ketika ada teman kantor gue yang memutuskan untuk pindah kantor, gue tidak akan merasa sedih dengan keputusan yang telah dia pilih. Itu pasti keputusan terbaik yang sudah dia pikirkan dengan sangat matang. dan yang pasti untuk kebaikan dia juga. Tentu gue merasa sedih —khususnya apabila gue sangat dekat dengan dia— karena gue dan dia sudah tidak bisa bekerja bersama kembali, tapi gue akan lebih memilih “good luck for whatever next” daripada “yah sedih blablabla” karena itu adalah sebuah perayaan, bukan perpisahan.

Gue memikirkan ulang konsep tentang perpisahan yang dibanyak kasus ternyata lebih cocok disebut sebagai perayaan.

Contoh lain yang sering dialamin juga dalah di percintaan. kasusnya hampir sama dengan paragraf sebelumnya, namun konteks hubungannya adalah perasaan daripada pekerjaan. terkadang kita merasa sulit unutuk meninggalkan ataupun ditinggalkan, namun bagaimanapun mungkin itu adalah jalan yang terbaik.

Mungkin hubungan yang ada terkesan toxic dan tidak ada yang bisa diubah karena salah satu pihak tidak benar-benar berubah. Mungkin hubugan yang ada berat sebelah sehingga yang merasa diuntungkan hanya satu pihak. Masih banyak lagi kemungkinan yang ada, namun intinya selalu mengarah ke perpisahan yang tidak jarang terasa menyakitkan.

Entah kita yang menjadi pelaku ataupun korban, bagaimanapun kita tidak bisa terus egois baik terhadap diri kita sendiri ataupun orang lain.

Dan perpisahan adalah sebuah bentuk perayaan, untuk kebaikan diri sendiri ataupun orang lain. Dan ingat, segala sesuatu selalu memiliki tradeoff, dan tugas kita dalah memilih yang terbaik untuk kita.

Sebagai penutup, kepada siapapun yang sedang merasakan sakitnya perpisahan, relakanlah. Jangan menutup pintu keluar untuk mereka yang berusaha keras ingin keluar.

Dan untuk siapapun yang sedang tidak terima dengan apa yang sedang terjadi, berbesar hatilah. Segala sesuatu terjadi pasti karena sebuah alasan dan pasti ada alasannya, dan pada akhirnya kita akan mengetahuinya jika memang itu cukup berdampak.

Que sera, sera.

Apa yang terjadi, terjadilah.

Ketahui apa yang bisa dan tidak bisa diperbaiki serta mana yang bisa dan tidak bisa dikontrol, maka seharusnya kita bisa lebih sedikit mengkhawatirkan atas apa yang akan terjadi, baik yang diharapkan ataupun yang tidak diharapkan.

The future’s not ours to see.

So, good luck for whatever comes next, everyone!