• 3 min read

Menjadi Konsumen Pintar

Konsumtif, less produktif, at least worth.

Gue tipe orang yang konsumtif, dan gue rasa hampir setiap orang juga konsumtif. Bedanya ada yang melakukan konsumsi karena memang benar-benar butuh atau yang engga butuh-butuh banget.

Konsumtif, less produktif, at least worth.

Prinsip gue dalam mengkonsumsi sesuatu adalah tentang hasil yang gue dapat dari proses konsumsi tersebut. Singkatnya, minimal konsumtif harus berbanding lurus dengan produktif, gue ga akan ngomongin seputar kesehatan, karena gue bukan tipe orang yang sehat-sehat banget.

Oke, misal gini, apa yang gue dapet setelah membeli kopi seharga ~50ribu dan duduk berjam-jam di warkop atau kafe? 2 tulisan baru dan 5 task resolved, contohnya.

Apakah pengeluaran 50ribu tersebut worth dengan apa yang sudah gue lakukan? Well, selama gue produktif gue akan memaafkan diri gue yang konsumtif ini.

Cashback…

Gue bukan tipe orang yang gila cashback, tapi akhir-akhir ini enjoy menggunakan cashback, intinya cashback gue anggap sebagai “thank you” dari suatu layanan, karena telah menggunakan layanan tersebut.

Ambil contoh kalau gue mendapatkan cashback 20% bila menggunakan aplikasi go***pay, gopay ngasih gue ~10ribu sebagai tanda terima kasih karena telah menggunakan aplikasi mereka untuk ber-transaksi sekitar ~50ribu.

Cashback bukanlah hal yang permanent, namun selagi ada program cashback… ya kenapa engga dinikmati?

Health?

Oke oke, gue cuma membicarakan tentang output belum membicarakan tentang efek. Dan inilah alasan gue mengapa memilih kata pintar daripada cerdas, kalau lo cerdas lo pasti mempertimbangkan beberala hal juga, sebagai contoh: faktor kesehatan, ekonomi negara dunia ketiga, dan sebagainya.

Oke oke berlebihan ya.

Mari kita persingkat ke kesehatan.

Meskipun kopi 50ribu kita anggap worth dengan 2 tulisan baru dan 5 task resolved, namun apakah efek yang ada di dalam kopi tersebut worth terhadap diri lo? Misal, efek kafein, gula, dsb.

Percuma ㅡ sengaja gue tekankan.

Misal apa yang kita hasilkan tersebut menyebabkan hal lain ㅡ jatuh sakit misalnya. Sejujurnya gue tidak terlalu peduli dengan masalah kesehatan, ingat, tidak terlalu bukan berarti tidak ya.

Setiap hari gue berurusan dengan hal tidak sehat, baik langsung seperti merokok ataupun tidak lamgsung terserah lo mau namain apa. Jadi, untuk apa membicarakan buruknya neraka jika kita sedang tinggal di dalamnya?

Kalau lo hidup sehat by design, faktor kesehatan mungkin harus dipertimbangkan untuk hari ini atau untuk hari yang akan datang. Apalah aku yang tidak sehat ini ya, meskipun selalu bermimpi untuk hidup sehat.

Terukur

Hal terakhir yang ingin gue bahas adalah terukur. Kalau gue bisa mengukur apakah layak ~50ribu something + duduk berjam-jam di warkop per hari dengan apa yang gue hasilnkan, harusnya gue bisa mengukur hal lain juga; pengeluaran tiap bulan untuk itu, misalnya.

Gue menggunakan metode zero-budget yang mana pemasukan + pengeluaran sama dengan nol. Pengeluaran ini banyak macamnya; nabung dan investasi pun termasuk pengeluaran.

Pemasukan juga banyak macamnya, tapi di sini gue ambil dari gaji utama gue. Pengeluaran pun mostly ke perilaku konsumtif pangan, entertainment dan self improvement. Gue sekarang sejujurnya belum ada rencana buat melakukan investasi, karena gue rasa dan yakin investasi yang worth untuk gue saat ini yaitu investasi ke diri sendiri (self improvement).